Jumat, 21 Januari 2011

Sekolah dan Pendidikanku Kini


Terceritakanlah dialog antara seorang anak dengan ibunya. Pembicaraan lewat surat itu terangkum seperti berikut ini:

Anak:Ibu, doakanlah aku yang tengah menempuh ujian masuk perguruan tinggi. Aku telah berhari-hari mempersiapkan diri untuk berkelahi diam-diam, untuk melangkahi nasib ribuan anak lainnya yang berduyun-duyun di tempat ini. Tahukah ibu, betapa panjang rasanya ketidakpastian itu? 2 tahun di TK, 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA. Lalu ketidakpastian diterima atau tidak di perguruan tinggi yang baik. Setelah itu ketidakpastian menyiapkan masa depan di bangku kuliah.

Apakah makna pendidikan yang seperti ini, Ibu? Kesabaran yang tiada putus-putusnya? Dulu, konon orang menyebut sekolah dari kata schole dari bahasa Yunani yang berarti semacam waktu senggang, kesempatan sang guru dan murid untuk saling bertemu, bertatap muka, memberi dan menerima. Kini, waktu senggang itu justru menjadi semacam penghianatan terhadap sekolah.”

Ibu:Anakku, bukan cuma dirimu yang mengeluh. Di seluruh dunia orang sudah tak mengenal lagi kata schole seperti itu. Orang Jepang menyebut testing sebagai Shiken Jigoku atau "neraka ujian". Di sana, tiap tahun 700.000 murid mencoba menerobos universitas, tentu saja memperebutkan yang terbaik. Akan tetapi, di Todai universitas Tokyo hanya tersedia 1.400 tempat saja.”

Persaingan itu anakku, memang sangatlah mengerikan. Sejak umur 6 tahun anak-anak di Jepang sudah harus menghadapi pelajaran selama 7 jam sehari dan selama 12 tahun mereka harus tetap demikian. Mereka belajar tak putus-putusnya dan menambahkan jam yang mencekik itu dengan les-les tambahan. Diwaktu malam ada anak-anak yang karena takut mengantuk, mereka mengguyur kepalanya dengan air dingin. Mereka tak boleh terlalu enak beristirahat. Mereka harus siap untuk sekolah tinggi yang baik, yang berarti jabatan di perusahaan besar. Mereka harus keras.”

Pernah ada sebuah universitas yang mengirimkan surat penolakan kepada seorang calon mahasiswa yang gagal. Dalam surat itu tertulis kalimat: "Anda tidak dapat terus hidup kalau Anda tak tangguh". Tak heran bila di Jepang sana dari setiap 100.000 anak remaja terdapat 17 kasus bunuh diri. Tapi, Nak, barangkali itulah bayaran bagi Jepang sebagai negeri yang disebut Nomor 1.”

Anak:Tapi tidakkah itu sebagai negeri para robot, makhluk cetakan yang hanya disiapkan untuk perusahaan raksasa? Bukankah pendidikan bertujuan untuk menumbuhkan kepribadian, memperkaya rohani, melatih akal budi dan penalaran? Memelihara terus peradaban manusia?

Ibu:Sayang sekali, Anakku. Analisis ekonomi neoklasik akhirnya menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di Negara di abad ke-21 ini adalah berkat investasi di bidang ketenagakerjaan. Sekolah  telah menjadi semacam pabrik dan sekaligus alat penyaring. Masyarakat, kata orang, mencari mereka yang paling produktif dan paling sanggup untuk meningkatkan pertumbuhan baru. Mereka membuka pintu untuk mendapatkan suatu lapisan terpilih.”

Dan tentu saja, pintu itu sangat sempit, Anakku. Ingatkah kau pada cerita Napoleon yang meminta tiap serdadunya untuk menyimpan tongkat komando? Dikatakannya bahwa, dengan itu kepada mereka terbuka kesempatan untuk jadi jenderal. Tapi kenyataannya berapa gelintir yang bisa sampai di puncak tertinggi itu? Sebagian besar mereka tewas. Hilang. Tenggelam.”

Demikian pula yang terjadi dengan sekolah dan kesempatan kerja. Maka ketika kian banyak tenaga yang datang berduyun-duyun mau melewati pintu sempit itu, makin banyak pula rintangan yang dipasang. Dulu tidak ada ujian masuk perguruan tinggi. Dahulu setiap ijazah hampir pasti jaminan ke sekolah yang lebih tinggi. Kini semua itu tak berlaku lagi. Alat-alat penafsiran baru disiapkan. Tentu saja untuk itu biaya bertambah. Masyarakat harus membayar ekstra sementara tak berarti tenaga yang lolos akan lebih produktif nantinya. Tapi rupanya mereka tidak juga mengeluh.”

Anak:Kenapa mereka tidak juga mengeluh , Ibu? Kenapa tak mencari jalan lain saja?

Ibu:Karena pilihan masih lebih luas dari sekadar jadi robot atau hara-kiri, Anakku. Dan itu berarti harapan. Mungkin setelah kegagalan. Setidaknya itulah doaku, Anakku. Dan rasa syukurku.”



(Catatan Tong Sampah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar